Wujud Rezim Penghamba Modal dalam Kebijakan Pengupahan di Indonesia

Perjuangan buruh dalam menuntut upah layak selalu menjadi polemik di masyarakat. Sebagian mendukung, namun tidak sedikit yang kontra terhadap perjuangan buruh tersebut. Pihak yang kontra menganggap tuntutan kenaikan upah buruh tidak dapat dibenarkan. Alasan utama mereka adalah produktivitas buruh di Indonesia masih rendah. Sehingga tuntutan menaikkan upah menjadi tidak revelan. Pihak yang mendukung perjuangan buruh menganggap sistem yang ada saat ini sangat eksploitatif. Hasil kerja buruh hanya dinikmati oleh pemilik modal saja. Sehingga menganggap rendah produktivitas buruh hanya sebagai legitimasi rezim upah murah. Terlebih dalam penetapan upah kali ini berbeda dengan tahun sebelumnya. Penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang dilakukan secara serentak pada tanggal 1 November 2016 mulai mengacu pada PP No.78/2015 tentang pengupahan.[1]Besaran UMP tahun 2017 ditetapkan melalui mekanisme pasar yaitu berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Hasilnya, kenaikan upah secara nasional hanya sebesar 8,2%.

Argumen utama yang kontra terhadap perjuangan buruh menuntut kenaikan upah adalah rendahnya produktivitas buruh. Guru Besar Ekonomi UGM Sri Adiningsih bahkan menilai produktivitas buruh yang dia nilai rendah dengan tingkat pendidikan yang diperoleh buruh. Menurutnya, “Upah yang diterima itu refleksi produktivitas. Tapi produktivitas buruh Indonesia masih rendah karena 50% lulusan SD dan jarang yang ikut pelatihan”.

Senada dengan Adiningsih, Ekonom senior LIPI dan juga merupakan akademisi UI, Emil Salim membenarkan hal tersebut. Salim mengatakan, “Produktivitas tenaga kerja Indonesia yang rendah memicu negara masuk jebakan negara berpenghasilan rendah” .

Pernyataan pihak yang kontra sebenarnya dapat dibantahkan dengan melihat data yang ada. Untuk menganalisa produktivitas buruh salah satu caranya dapat dilihat dari output sektor Industri. Menurut data dari Kementerian Perindustrian, dari aspek capaian kinerja makro, dilihat dari sisi pertumbuhan tahun 2014 (YoY), sektor industri pengolahan non migas tumbuh sebesar 5,61 persen, lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi sebesar 5,02 persen. Pertumbuhan Industri pengolahan non migas masih lebih tinggi dibanding pertumbuhan tahun 2013 sebesar 5,45 persen. Pada tahun 2014, nilai PDB nasional mencapai Rp. 10.542,69 triliun, di mana kontribusi sektor industri pengolahan non migas pada tahun 2014 adalah sebesar 17,87 persen dengan nilai Rp. 1.884,01 triliun. Kontribusi tersebut sedikit meningkat bila dibandingkan dengan tahun 2013 yang mencapai sebesar 17,72 persen.

Selama tahun 2014, nilai ekspor produk industri pengolahan non migas mencapai US$ 117,33 miliar, yang memberikan kontribusi sebesar 66,55 persen dari total ekspor nasional. Nilai ekspor tersebut meningkat sebesar 3,66 persen dibandingkan dengan nilai ekspor produk industri pengolahan non migas tahun 2013 yang mencapai US$ 113,03 miliar. Pada tahun 2015 (YoY), sektor industri pengolahan non migas tumbuh sebesar 5,04 persen, lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi sebesar 4,79 persen. Kontribusi sektor industri pengolahan non migas pada tahun 2015 sebesar 18,18 persen dengan nilai Rp. 2.098,117 Triliun. Jika dilihat dari data dari tahun 2013 – 2015 produktivitas sektor industri non migas selalu positif. Pertumbuhannya selalu lebih besar jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi. Kontribusi sektor industri non migas terhadap PDB juga selalu meningkat dari tahun 2013-2015.

Lebih spesifik lagi, dalam laporan ILO 2015 yang berjudul Indonesia :Trends in wages and productivity menunjukkan bahwa produktivitas buruh tiap tahun mengalami peningkatan (lihat tabel 1). Mengambil contoh pada buruh sektor manufaktur, produktivitasnya hampir tiga kali lebih besar dibanding total produktivitas buruh di seluruh sektor ekonomi. Dan dari tabel bisa dilihat bahwa dari tahun ke tahun produktivitas buruh per orang selalu meningkat.

Namun dalam segi upah buruh tidak ada peningkatan atau cenderung stagnan. Ambil contoh dalam kurun waktu 2011-2014, rata-rata upah minimum nasional tidak ada peningkatan yag signifikan yaitu 1,552.5 – 1,636.0 – 1,917.2 – 1,925.6. Dari segi produktivitas buruh mengalami kenaikan, namun tidak dibarengi dengan kenaikan upah yang sebanding. Bahkan ILO menganggap pemerintah perlu menaikkan upah buruh (manufaktur) di Indonesia.

Tabel 1.Produktivitas Buruh (Nilai-tambah per buruh, dalam Juta Rupiah)

bps

Sumber : ILO 2015

Permasalahan tentang pengupahan dalam sistem kapitalisme memang tidak akan pernah ada habisnya. Karena kapitalisme menyebabkan terbaginya masyarakat menjadi dua kelas yang saling berkontradiksi. Kelas kapitalis sebagai pemilik alat produksi, dan kelas proletar atau kelas buruh yang tidak memiliki alat-alat produksi. Kelas kapitalis memiliki kepentingan mengakumulasi modalnya, sehingga selalu berusaha memberikan upah kepada buruh seminimal mungkin–yang hanya cukup untuk mereproduksi tenaganya-. Seperti yang dikatakan Karl Marx :

“Harga rata-rata dari kerja-upahan ialah upah minimum, yaitu jumlah bahan-bahan keperluan hidup yang mutlak diperlukan untuk mempertahankan buruh sebagai seorang buruh dalam hidup sekedarnya. Oleh karena itu, apa yang telah dimiliki oleh buruh-upahan berkat kerjanya, hanyalah cukup untuk memperpanjang dan melanjutkan lagi hidup yang sekedarnya itu” [2]

Sedangkan kelas buruh yang tidak berkuasa atas alat produksi–dan hanya memiliki tenaga–harus berjuang melawan kelas kapitalis untuk mendapatkan kesejahteraan. Sehingga pada dasarnya pertarungan yang tidak bisa terdamaikan salah satunya adalah tentang upah.

Watak produksi kapitalis yang menginginkan keuntungan sebesar-besarnya dengan biaya sekecil-kecilnya tidak akan pernah berubah. Dalam model produksi kapitalis ada dua faktor produksi yang berpengaruh yaitu kapital konstan dan kapital variabel. Kapital konstan merupakan biaya bahan dan mesin produksi, sendangkan kapital variabel adalah biaya upah untuk buruh. Untuk mendapatkan keuntungan yang besar faktor produksi yang paling mudah untuk dimanipulasi sehingga lebih efisien adalah kapital variabel atau upah buruh.

Dengan memahami watak produksi kapitalis di atas semoga kita tidak lagi nyinyir pada buruh yang menuntut kesejahteraan terutama dalam hal kenaikan upah dan memahami bahwa surplus nilai (produktivitas) yang dihasilkan buruh hanya dinikmati oleh pemilik modal untuk kepentingan akumulasi modal.  Karena sejatinya buruh yang menuntut kenaikan upah hanya berusaha mengambil kembali hak-hak yang dirampas oleh pemilik modal.

Keadaan Perburuhan di Indonesia
Telah diuraikan di atas bahwa dalam sistem kapitalisme masalah pengupahan merupakan pertarungan dua kepentingan kelas yang saling berkontradiksi dan sulit untuk didamaikan. Maka pertarungan tentang upah akan selalu ada, tidak terkecuali di Indonesia. Arena pertarungan dua kepentingan tersebut terwadahi dalam institusi yang bernama Negara. Negara beserta kebijakannya merupakan hasil dari pertarungan dua kepentingan kelas tersebut.[3] Kebijakan tentang perburuhan (dan pengupahan) di Indonesia merupakan wujud dari pertarungan kelas. Lantas bagaimana kondisi pengupahan di Indonesia dewasa ini?

Menurut data ILO (2014) upah minimum buruh di Indonesia hanya sebesar US$ 171 per bulan. Lebih rendah dibanding Vietnam yang sebesar US$ 187, upah buruh di Malaysia sebesar US$ 390, sementara buruh di Thailand dan Filipina masing-masing digaji US$ 392 dan US$ 360 setiap bulan. Sedangkan upah minimum buruh di Singapura mencapai US$ 3.527 per bulan.[4] Upah minimum Indonesia hanya lebih tinggi dari kamboja (negara yang tengah berkonflik). Sedangkan jika dibandingkan dengan Negara-negara di Asia lainnya kondisinya tidak jauh berbeda. Indonesia hanya sedikit lebih tinggi dari Negara yang secara national security belum stabil yaitu : Nepal, Pakistan, Kamboja dan Timor Leste yang notabene Negara yang baru merdeka (lihat tabel 1). Dengan kondisi upah minimum yang tergolong masih rendah ironisnya masih banyak perusahaan yang memberikan upah dibawah UMK. Menurut data BPS 2015 sebanyak 51,71 persen pekerja tetap di Indonesia mendapatkan upah dibawah UMK.[5] Sebagai contoh, di Bekasi ada perusahaan garmen yang menggaji buruhnya hanya separuh dari ketentuan UMK dan berlangsung lebih dari 5 tahun.[6]Masih banyak pelanggaran terkait dengan upah dibawah UMK yang terjadi di Bekasi terlebih pada perusahaan yang mayoritas buruhnya perempuan. Seorang buruh PT Buana Bekasi dalam wawancara dengan penulis melukiskan situasi tersebut:

“Masih banyak perusahaan di Bekasi yang menggaji buruhnya di bawah UMK dan memaksakan buruh bekerja melebihi batas jam kerja yang ditetapkan oleh Undang-Undang. Apalagi buruh garmen yang mayoritas perempuan. Saat permintaan produksi tinggi kita dipaksa mengejar target produksi, bahkan kita tidak diberikan ijin cuti Haid. Jika buruh pulang sebelum target terpenuhi maka dianggap sebagai hutang jam kerja, padahal kita sudah bekerja dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore”.[7]

Ini dapat diartikan bahwa kebijakan UMK/UMR belum bisa menjadi jaring pengaman bahwa pemilik modal akan memberikan upah sesuai ketentuan. Jika dilihat kontribusi buruh dalam perekonomian nasional sebenarnya produktivitas buruh meningkat dari tahun ke tahun. Untuk mengetahuinya kita bisa melihat data dari kementerian perindustrian Indonesia (2015) menyebutkan bahwa laju pertumbuhan industri non-migas 2015 tumbuh sebesar 5,04 %. Sedangkan kontribusi sektor industri non-migas terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 2015 sebesar 18,18 persen.

Tabel 2. Perbandingan Upah rata-rata per bulan di Asia

tabel

Sumber :International Labor Organization Wage Database 2015

PP No.78/2015 Pengupahan dan Fleksibilitas Tenaga Kerja : Melanggengkan Rezim Upah Murah
Jatuhnya pemerintahan Soeharto yang diharapkan menjadi harapan awal untuk kaum buruh mencapai kesejahteraan ternyata masih jauh panggang daripada api. Pasalnya, corak sistem ekonomi dan politik tidak banyak berubah (Robison dan Hadiz, 2009). Negara masih menggunakan logika pembangunanisme (developmentalism) dalam menjalankan pemerintahan. Artinya pertumbuhan ekonomi menjadi tujuan utama dari pembangunan yang dilakukan. Terlihat dari kebijakan-kebijakan pemerintah yang pro terhadap pemodal. Pemerintah memanjakan pemilik modal dengan upah buruh yang murah, pasar tenaga kerja yang fleksibel, dan stabilitas keamanan untuk wilayah industri. Untuk menjamin upah buruh yang murah pemerintah mengeluarkan PP No.78/2015 tentang pengupahan dan mulai diberlakukan untuk menentukan kenaikan upah 2017. Selain itu, untuk mendapatkan upah murah pemilik modal memberlakukan sistem tenaga kerja fleksibel (TKF). Sistem TKF termuat dalam UU No.13/2003 dengan bahasa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWTT), alih daya (Outsorcing), Harian/Borongan, dan Magang. Jika dilihat lebih dalam semua skema atau model tersebut tujuan utamanya adalah efisiensi, yaitu mendapatkan buruh murah. Mari kita bahas kebijakan PP pengupahan dan Pasar Tenaga Kerja Fleksibel yang penuh kontroversi tersebut.

Penetapan PP No.78/2015 merupakan paket kebijakan ekonomi jilid IV dari pemerintah Jokowi-JK. Dalihnya adalah dengan PP tersebut maka setiap tahun upah buruh di Indonesia dapat mengalami peningkatan.[8] Namun bagi kaum buruh kebijakan tersebut dianggap merugikan. Hal paling krusial dalam PP tersebut yang ditolak kaum buruh adalah kenaikan upah dilempar pada mekanisme pasar yaitu dengan formula baku :Upah Tahun sekarang + (( Upah tahun sekarang x (pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) + persentase inflasi)). Terbukti, pasca diberlakukan PP pengupahan  penolakan keras datang dari kaum buruh.

Selama rentang waktu empat hari dari tanggal 24 November – 27 November 2015 gerakan buruh melakukan “Mogok Nasional” sebagai aksi mendesak pemerintah untuk mencabut PP Pengupahan tersebut. Aksi Mogok Nasional 2015 ini berdasarkan data KAU-GBI (Komite Aksi Upah Gerakan Buruh Indonesia) diikuti jutaan buruh di 20 provinsi dan 200 kabupaten/kota se-Indonesia. Setelah itu muncul gerakan-gerakan penolakan di tingkat daerah yang dilakukan gerakan buruh. Yang terbaru pada tanggal 31 Oktober Konfederasi KASBI melakukan aksi nasional menolak PP pengupahan yang dilakukan di depan Istana dengan jumlah massa sekitar 10.000 (lihat gambar 1). Namun hal tersebut belum membuahkan hasil, untuk penetapan upah 2017 Menteri Ketenagakerjaan, Muhammad Hanif Dhakiri mengeluarkan surat edaran harus sesuai dengan PP 78/2015, serta penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) dilakukan pada tanggal 1 November 2016 secara serentak. Hasilnya pertambahan upah tahun 2017 hanya sebesar 8,25% secara nasionaldi mana inflasi nasional sebesar 3,07 persen, sedangkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,18 persen.

Gambar.1 :Aksi Nasional Konfederasi KASBI menolak PP pengupahan pada tanggal 31 Oktober 2016

dokumentasi-penulis

Sumber : Dokumentasi Penulis

Permasalahan PP Pengupahan : Menistakan UU 13/2003 dan UUD 1945
Aksi keras buruh menolak PP No. 78/2015 disebabkan karena secara hukum dinilai “menistakan” peraturan perundangan. Pertama, mulai dari pembuatan PP tersebut sudah dinilai cacat dan terindikasi penuh kecurangan. Abu Mufakir anggota dari Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) dalam diskusi di MAP Corner-Klub MKP UGM (Selasa, 1 Desember 2015) menjelaskan ada beberapa masalah terkait pembuatan PP Pengupahan tersebut. Masalah pertama adalah sejarah pembentukan PP pengupahan yang bersifat tertutup dan manipulatif. Kronologi pembuatan PP dijelaskan oleh Abu sebagai berikut: PP pengupahan ditetapkan tanggal 23 September 2015. Pada tanggal 12-13-14 September, Dewan Pengupahan Nasional diundang oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans), padahal mulai Maret 2015 Dewan Pengupahan vakum. Undangan tersebut dimaksudkan mengajak Dewan Pengupahan untuk setuju dibuatnya PP pengupahan. Hal yang ganjil menurut Abu ialah pada saat itu draf RPP belum keluar. Ini dilihat sebagai upaya Menakertans mendapatkan legitimasi dari serikat buruh melalui Dewan Pengupahan yang telah hadir. Peserta yang hadir-pun sudah disetting. Pada tanggal 16 September, draf RPP Pengupahan akhirnya keluar. Serikat Buruh merasa ditipu karena menganggap pertemuan Menakertrans dengan Dewan Pengupahan tersebut bersifat manipulatif. Faktor kedua adalah pembentukan hukum yang tidak partisipatif. Tidak ada perwakilan resmi dari serikat buruh yang diajak secara terbuka membahas tentang perumusan PP pengupahan.

Kedua, substansi PP Pengupahan tidak mencerminkan semangat dan roh dari amanat konstitusi yaitu kesejahteraan dan kehidupan yang layak bagi seluruh masyarakat(UUD 1945 Pasal 27). Hal yang paling krusial ialah reduksi konsep upah layak ke dalam dua indikator yang diamanatkan PP Pengupahan: sebatas pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Kebijakan ini mengabaikan sama sekali variabel KHL (Kebutuhan Hidup Layak) yang diamanatkan oleh UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Ini berarti bahwa upah buruh dilempar pada mekanisme pasar. Selain itu, PP Pengupahan juga punya kecenderungan melanggar peraturan diatasnya. Di dalam UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan, disebutkan bahwa upah ditinjau setiap tahun dan dalam penetapannya melalui perundingan tripartite melaui pertimbangan survey Komponen Hidup Layak (KHL). Perundingan tripartit melibatkan Pemerintah, Pengusaha melalui APINDO, dan kaum buruh yang terwadahi dalam Dewan Pengupahan. Ini artinya, pihak terkait: buruh, pengusaha dan pemerintah wajib meninjau dan menegosiasikan ulang upah tiap tahunnya dengan mempertimbangkan perkembangan KHL. Tetapi dengan ketentuan PP Pengupahan, peran dari serikat buruh dihilangkan serta peninjauan KHL hanya tiap 5 tahun sekali–sesuatu yang bertentangan dengan amanat UU ketenagakerjaan.

PP No.78/2015 tentang Pengupahan :Karpet Merah untuk Pemilik Modal
Selain cacat secara legal formal, ada beberapa dampak negatif jika dilihat dari segi ekonomi politik dari PP pengupahan tersebut. Pertama :PP pengupahan kontra-demokrasi dan bentuk deradikalisasi. Dengan adanya formula baku penetapan upah maka peran kaum buruh dihilangkan. Mekanisme tripartit tidak berlaku lagi. Tidak dilibatkannya serikat buruh dalam menentukan upah (lewat Dewan Pengupahan), pemerintah dan pengusaha ingin menahan radikalisasi gerakan buruh pada kenaikan upah. Maksudnya, pada mekanisme tripartit yang melibatkan Dewan Pengupahan massa serikat buruh bisa menekan Dewan Pengupahan dari bawah melalui aksi. Sebagai contoh, pada masa Orde Baru kenaikan upah tidak pernah lebih dari 10%.[9]Baru pada tahun 2009 upah mengalami kenaikan tertinggi pertama kalinya yaitu 40%. Kenaikan 40% itu bisa terjadi karena dewan pengupahan ditekan oleh kaum buruh dari bawah melalui aksi massa. PP No.78/2015 menutup radikaliasi tekanan dari bawah karena menghilangkan peran Dewan Pengupahan dalam penetapan upah. Bisa dikatakan tidak akan terjadi lagi lonjakan upah yang signifikan walaupun gerakan buruh memberikan tekanan. Padahal rata-rata UMP maupun UMK di Indonesia masih rendah. Tercatat hanya DKI Jakarta yang memiliki UMP diatas 3 juta rupiah.[10] Banyak daerah besaran UMP hanya sekitar 1jt-2jt rupiah. Ini artinya kedepannya daerah yang masih memiliki UMP rendah tidak akan mengalami peningkatan secara signifikan.

Kedua, perusahaan memanfaatkan letak geografis yang membedakan besarnya upah yang signifikan. Dengan adanya diferensiasi upah yang cukup tinggi antara daerah industri dan daerah lain, mengakibatkan perusahaan mengembangkan sayap ke daerah yang masih memiliki upah rendah. Contohnya, sejumlah industri sepatu di Surabaya mulai melakukan relokasi ke daerah Ngawi untuk mendapatkan buruh dengan upah rendah.[11]

Ketiga, jaminan upah murah dan terprediksi. Dengan adanya PP tersebut pemilik modal diberikan kemudahan untuk memprediksi dalam berinvestasi (forcasting). Sebagai contoh :Pemerintah membuat Kawasan Industri Kendal (KIK) pada tahap pertama dengan total lahan seluas 860 hektar yang diperkirakan akan selesai dalam waktu 5 tahun. Pembangunan tahap pertama tersebut diprediksi menyerap 500.000 tenaga kerja.[12] Bahkan mulai Agustus 2016 ini sudah ada pabrik yang beroperasi yaitu PT. Tat Wai Industries dari Singapura. Bisa kita lihat jaminan upah murah dan terprediksi dari pembangunan KIK ini jika dikaitkan dengan PP 78/2015. UMK tahun 2017 Kab. Kendal sebesar Rp 1.639.600, jika kita asumsikan pertumbuhan ekonomi dan inflasi pertahun rata-rata 10%. Maka saat kawasan industri Kendal selesai (perkiraan tahun 2021) UMK Kab. Kendal jika dihitung berdasarkan rumus PP No.78/2015 hanya sebesar 2.400.538 rupiah. Very cheap and predictable. Menurut informasi pihak pengembang yaitu PT Jababeka, kawasan tersebut merupakan tempat yang strategis untuk berinvestasi karena dekat dengan bandara, pelabuhan dan pusat administratif. Sudah bisa dipastikan banyak perusahaan yang akan berpindah/mendirikan sub pabrik di kawasan tersebut. Pemilik modal bisa mendapatkan upah murah karena merelokasi buruh ke daerah ber-UMK rendah. Padahal perusahaan tersebut menjual hasil produksinya dengan menghitung biaya upah dengan jumlah UMR daerah Bekasi misalnya. Dapat dilihat bahwa kebijakan ini merupakan hasil dari rezim pemerintahan yang menghamba pada pemilik modal.

Selalu ada hikmah di balik musibah. Mungkin kalimat ini cocok untuk menggambarkan peluang gerakan buruh setelah adanya PP pengupahan. Bagi gerakan buruh bila bisa menangkap peluang maka bisa menggunakan momentum penolakan terhadap PP pengupahan untuk mengkonsolidasikan dan memperkuat gerakan buruh. Pasalnya dengan adanya PP pengupahan tidak akan ada lagi elit serikat buruh yang mampu berlindung. Seperti yang diungkapkan Agustinus Santoso (Pengurus Pusat KASBI) dalam diskusi MAP Corner-Klub MKP (Selasa, 15 November 2016). Kawan Agustinus mengatakan bahwa  PP 78/2015 bisa menguntungkan gerakan buruh karena elit-elit serikat buruh tidak bisa pencitraan. Karena PP pengupahan sudah murni kepentingan pemilik modal maka buruh bisa melihat elit serikat mana yang berjuang dengan sungguh-sungguh melawan kebijakan tersebut. Dan mau tidak mau seluruh serikat buruh karena dorongan dari bawah ataupun gengsi pasti melakukan aksi penolakan. Bahkan serikat buruh peninggalan Orde Baru yang reformis-pun dalam situasi seperti ini terpaksa melakukan aksi massa. Hal tersebut baik untuk mendorong kesadaran massa bahwa aksi massa penting dilakukan. Imajinasi buruh (terutama anggota serikat bentukan Orde Baru) tentang aksi massa bisa tumbuh kembali. Karena pada masa pemerintahan Soeharto selama 32 tahun buruh dijauhkan dari aksi massa (Juliawan, 2011). Agustinus menambahkan, penolakan terhadap PP pengupahan ini bisa dijadikan momentum untuk meradikalisasi gerakan buruh.

Pasar Kerja Fleksibel dan Lingkaran Setan Eksploitasi
Selain PP No.78/2015, pemilik modal bisa mendapatkan buruh dengan upah murah menggunakan kebijakan pasar tenaga kerja fleksibel. Kebijakan pasar tenaga kerja fleksibel di Indonesia diberlakukan setelah disahkan UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Sesuai dengan namanya, dalam kebijakan tenaga kerja fleksibel perusahaan bisa dengan mudah mengangkat dan memberhentikan buruhnya sesuai dengan kebutuhan produksi. Dalam UU Ketenagakerjaan tersebut pasar tenaga kerja fleksibel tercantum sebagai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu serta Alih Daya. Untuk memudahkan kita sering menyebutkannya dengan sistem kerja kontrak, dan outsourcing. Lebih parahnya lagi sekarang muncul sistem baru yang digunakan yaitu sistem magang. Baik dalam sistem kontrak, outsourcing, maupun magang memiliki kesamaan yaitu buruh tidak mendapat jaminan kerja. Dengan sistem tersebut buruh dianggap oleh pengusaha tak ubahnya barang komoditas. Buruh bisa diperjual belikan layaknya barang dagangan. Tentu saja ini bertentangan dengan hakikat kemanusiaan. Buruh tidak lagi dianggap sebagai manusia yang berhak mendapat penghidupan yang layak, jaminan rasa aman, dan kebebasan berinteraksi dengan manusia lain. Serba ketidak pastian yang terjadi membuat buruh kontrak/os/magang selalu dihantui rasa takut akan keberlangsungan kerjanya. Setiap hari baik fisik maupun pikiran tidak pernah lepas dari kegelisahan. Hidup dalam kondisi yang tidak menentu tentu saja tidak nyaman. Setiap hari secara psikis buruh mendapatkan tekanan yang luar biasa. Apakah esok kontrak diperpanjang? Apakah yang buruh OS bisa mendapatkan kontrak? Apakah setelah magang akan diangkat menjadi kartap sesuai janji manis di awal? Semuanya dalam kondisi serba ketidak pastian membuat buruh tercerabut dari kehidupan bermasyarakat.

Pada sistem outsourcing pemilik modal bisa cuci tangan terhadap tanggungjawabnya kepada buruh dengan cara dilempar ke pihak ketiga atau yayasannya. Jika di perusahaan terjadi pelanggaran maka buruh tidak bisa menuntut pada perusahaan tempat buruh bekerja akan tetapi ke pihak penyalurnya. Seperti yang disampaikan oleh salah satu buruh OS di PT. Trimitra

“Saya menjadi buruh OS sudah 9 tahun, padahal sesuai peraturan UU itu tidak diperbolehkan dan gugur secara hukum otomatis saya jadi buruh tetap.Tetapi saat saya melapor kepihak manajemen maka mereka menyuruh saya komplain ke yayasan. Pada saat bicara dengan ketua yayasan bilang kalau itu urusan saya dengan perusahaan tersebut. Nah saya kan jadi bingung mau mengadu kemana”[13]

Maka tidak berlebihan jika Juliawan (2010) menyebutnya sebagai hubungan industrial yang buas (The Predatory Nature of Industrial Relations). Kebijakan pasar tenaga kerja fleksibel digunakan kapitalis untuk mendapatkan buruh murah serta mudah dikontrol. Pada sistem magang misalnya tidak mengenal sistem upah akan tetapi uang saku. Logikanya dengan uang saku pemilik modal bisa memberikan upah seenaknya sendiri tanpa terikat peraturan Upah Minimum. Sistem kontrak outsourcing dan magang membuat buruh terpecah-pecah sehingga sulit untuk berserikat. Kondisi buruh yang terpecah-pecah membuat buruh tidak bisa mendesakkan kepentingannya sebagai kelompok (Hadiz, 1998; 2002, Tornquist, 2004).Pada dasarnya jika dilihat dengan kepentingan kelas pada corak produksi kapitalis maka apapun model atau sistemnya sebenarnya bermuara pada akumulasi kapital.

Ketimpangan dalam sistem kapitalisme merupakan dampak sekaligus hal yang dibutuhkan oleh kapitalis. Dengan adanya pengusaan alat produksi oleh segelintir orang maka akan menghasilkan ketimpangan. Serta dengan adanya ketimpangan pemilik modal bisa melakukan akumulasi kapitalnya. Terlebih dalam sistem kerja upahan hasil yang diterima kaum buruh hanya cukup untuk mereproduksi tenaganya saja. Proses produksi selama dilakukan di bawah sistem kapitalisme tidak akan bisa membuat buruh sejahtera. Tuntutan ekonomisme buruh (menuntut kenaikan upah) perlu didorong lebih jauh pada akar permasalahan, yaitu monopoli alat produksi oleh segelintir orang. Solusi logis yang perlu dilakukan adalah nasionalisasi alat produksi di bawah kontrol rakyat serta digunakan untuk menyejahterakan rakyat.

Catatan Akhir:
[1] Sesuai dengan Surat Edaran Kementrian Tenaga Kerja No B.157/MEN/ PHIJSK-UPAH/10/2016 tertanggal 17 Oktober 2016, menghimbau agar Gubernur menetapkan upah minimum tahun 2017 sesuai dengan PP No. 78/2015, Kementrian Dalam Negeri juga terbitkan SE No 500/3869/SJ tentang Hasil Evaluasi Penetapan Upah Minimum 2016 dan Persiapan Penetapan Upah Minimum 2017.

[2]Penjelasan Marx tentang upah tersebut menjadi kritik yang popular karena merupakan isi dari tulisan yang terkenal (yang ditulis bersama Engels) yaitu manifesto partai komunis pada halaman 57. Hal tersebut menjadi dasar dari konsep upah minimum yaitu upah yang diberikan pemilik modal hanya cukup untuk mereproduksi tenaganya saja, bisa kurang namun tidak lebih.

[3] Marx mengatakan bahwa Negara merupakan alat yang digunakan kelas yang berkuasa untuk melanggengkan kekuasaan dan menindas kelas yang kalah. Namun juga perlu dipahami bahwa ada kompromi terhadap masalah tertentu agar tidak terjadi radikalisasi secara besar-besaran yang justru berbahaya bagi kelas penguasa. Maka bisa disimpulkan bahwa kebijakan yang dikeluarkan Negara merupakan hasil kompromi dari pertarungan kelas.

[4] ILO and ADB (2014) ASEAN community 2015: Managing integration for better jobs and shared prosperity, International Labour Organization and Asian Development Bank: Bangkok.

[5]BPS (2015) Keadaan perkerja di Indonesia:: Februari 2015, Badan Pusat Statistik, Jakarta.

[6] Hasil wawancara penulis dengan Saripah, buruh PT Tristar, 19 Oktober 2016

[7]Wawancara penulis dengan MR, buruh PT Buana Bekasi, 21 Oktober 2016

[8] Statement tersebut disampaikan oleh Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia, Hanif Dhakiri dalam siaran pers tertulisnya, Minggu 1 Mei 2016.

[9]Karena pada massapemerintahan Soeharto walaupun ada dewan pengupahan tetapi serikat yang diakui merupakan serikat bentukan pemerintah yaitu Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) dan tradisi aksi massa belum banyak dilakukan oleh gerakan buruh. Jadi otomatis tidak ada tekanan dari kaum buruh dalam penetapan upah melalui perundingan tripartite.

[10]http://bisnis.liputan6.com/read/2649470/daftar-lengkap-kenaikan-ump-2017-di-34-provinsi (diakses pada Kamis, 18 Nopember 2016)

[11]http://www.madiunpos.com/2015/01/09/umk-2015-industri-sepatu-surabaya-relokasi-ke-ngawi-566552(diakses pada Jumat, 18 Nopember 2016)

[12]PT Jababeka Tbk dan Sembcorp Development Ltd bekerja sama dalam pengembangan Kawasan Industri Kendal, seluas 2.700 hektar kawasan industri terpadu di Jawa Tengah, Indonesia. Kawasan Industri Kendal akan dirancang menjadi kawasan industri standar internasional. Kawasan Industrial Kendal terletak sekitar 21km dari sebelah barat Semarang (ibukota Jawa Tengah), 20km dari Bandara Internasional Ahmad Yani dan 25km ke Pelabuhan Tanjung Emas.

[13] Hasil wawancara penulis dengan Wawan buruh OS PT Trimitra Bekasi, 14 Oktober 2016

Referensi :
Juliawan, Benny Hari .2010. Extracting Labor From Its Owner. Critical Asian Studies. Vol: 42:1,25-55

—————————–. 2011. “Street-level Politics: Labour Protests in Post-authoritarian Indonesia”, Journal of Contemporary Asia, 41 (3): 349-370

Hadiz, V. .1997.Workers and the State in New Order Indonesia, London: Routledge.

ILO. 2015. Indonesia:Trends in wages and productivity January 2015.

Marx, Karl dan Engels, Friedrich. 1959. Manifesto Partai Komunis. Jakarta: Yayasan Pembaruan.

Marx, Karl. 2004. Kapital 1 : Sebuah Kritik Ekonomi Politik. Hasta Mitra seri buku ilmiah.

Tornquist, O. 2004. ‘‘Labour and Democracy? Reflections on the Indonesian Impasse,’’ Journal of Contemporary Asia, 34, 3, pp. 377-99.

Diskusi MAP Corner-Klub MKP UGM

 

Tulisan ini sebelumnya dimuat dalam Website Islam Bergerak.
Dimuat ulang untuk tujuan pendidikan.

Leave a Reply