Menelusur Akar Masalah Papua

Beberapa pekan terakhir, Papua yang sempat tenang, kembali bergolak. Tidak hanya satu isu saja yang mengarahkan perhatian publik ke Pulau Cenderawasih ini. Mulai dari kasus kisruh di PT. Freeport, konflik antar suku hingga tentu saja persoalan apa yang sering dituduhkan sebagai ‘gerakan separatis’. Mengapa Papua seakan akrab dengan pergolakan? Apa sebenarnya yang menjadi akar dari masalah di Papua? Beberapa pertanyaan ini menjadi titik tolak diskusi MAP Corner-Klub MKP 13 Desember 2011.

Diskusi kali ini sengaja diawali dengan menghadirkan perspektif warga Papua dalam memaknai masalah Papua itu sendiri. Trifonia Nafrubenan, aktivis Lembaga Penguatan Pemberdayaan Pendidikan di Papua Barat, dengan semangat mengingatkan kita semua bahwa masalah Papua adalah tentang perjuangan identitas dan jati diri masyarakat Papua.

“Jatidiri Papua ini yang sering disuarakan, mengapa kami tidak merasa nyaman menjadi warga negara RI. Kalau diam, itu bagian yang tidak disuarakan, ekspresi. Maka tidak bisa kami diam, kalau diam akan diinjak terus.”

Mbak Fona, panggilan akrab perempuan yang juga sedang menempuh program pasca sarjana di UGM, menilai jika masyarakat Papua tidak merasakan kesejahteraan secara utuh yang dicita-citakan Negara Republik Indonesia ini. Jikalau kemudian muncul pembunuhan, penembakan baik yang disengaja atau tidak, itu ekspresi dari mengapa mereka tidak diperhatikan. Keadaan tersebut diperparah dengan abainya pemerintah terhadap tuntutan masyarakat. Tuntutan masyarakat kurang direspon secara benar dan secara serius, sehingga muncul tuntutan-tuntutan, setiap orang ingin merdeka. Kalau merdeka sampai saat ini mereka menuntut akan kemerdekaannya, karena tuntutan atas apa yang mereka yakini sebagai haknya tidak diberikan oleh negara. Seperti masalah pengelolaan hutan yang diklaim negara dan terjadi pembalakan liar, penjualan hutan yang tentu secara langsung maupun tidak langsung merugikan masyarakat. Sementara hanya kerusakan hutan yang masyarakat dapatkan.

“Mereka ingin janganlah kita bergabung dengan republik. Hutan kami ini sudah habis, sudah diklaim oleh negara. Kami ini dapat apa.”

Kesejahteraan itu akan tercapai jika orang Papua diberikan pendidikan seluas-luasnya. Sebenarnya orang Papua punya talenta yang luarbiasa, namun tidak pernah diberdayakan. Masyarakat Papua tidak pernah berkembang dengan aset sumberdaya alam yang luar biasa. Keadaan tersebut diperparah dengan maraknya klaim tanah adat oleh negara. Selanjutnya muncul kecurigaan, apakah nanti tanah tersebut akan dikembalikan atau untuk apa. Keadaan tersebut membuat masyarakat tidak lagi bisa tinggal di Papua, karena tanah mereka telah diklaim pemerintah sebagai tanah negara.

Mbak Fona juga menilai, keberadaan otonomi khusus telah gagal karena pada akhirnya masyarakat tidak bisa merasakan kesejahteraan tersebut. Pada prinsipnya otonomi khusus yang diberlakukan di Papua, ketentuannya sudah dinilai bagus. Namun dalam pelaksanaannya masih terdapat intervensi. Hal ini membuat masyarakat merasa bahwa kepala mereka diberikan kebebasan untuk berjalan, untuk berotonomi, namun ekor mereka tetap saja ditahan. Katakanlah ruang bagi masyarakat untuk bisa merdeka dengan utuh itu tidak ada. Ditambah lagi dengan banyaknya konflik kecil yang tidak diangkat ke permukaan. Dan tidak pernah dikaji secara serius atas apa yang diinginkan masyarakat. Keadaan ini diperparah dengan peranan media, media pun menyuarakan kurang sesuai dengan isu yang terjadi.

Tuntutan masyarakat atas kemerdekaan sebenarnya merupakan ekspresi ketidakpuasan masyarakat terhadap pemenuhan hak-haknya. Mereka beranggapan bahwa tidak ada keadilan bagi masyarakat Papua. Atas alasan tersebut kemudian setiap orang ingin merdeka. Merdeka yang demikian mereka petik sebagai “Secara bebas bisa mengurus rumah tangganya”. Sedangkan yang disuarakan oleh media berbeda. Media mensimplifikasi masalah Papua dengan menyuarakan bahwa masyarakat Papua ingin merdeka semata karena ketidakpuasan masyarakat atas apa yang dilakukan pemerintah pusat.

Dengan perspektif yang lebih paradigmatis, Mas Robi (Robert Baowollo) sebagai pemantik diskusi kedua melihat ada persoalan kesalahan pemahaman oleh Jakarta maupun masyarakat umum terhadap persoalan Papua. Sebagai peneliti independen di Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM bidang resolusi konflik, dengan spesialisasi pada konflik etnis dan agama, Mas Robi menilai bahwa cara pandang masyarakat atas apa yang disebut dengan separatisme itu perlu diluruskan. Selama ini, yang ada dalam kepala kita ketika membicarakan Papua adalah OPM (Organisasi Papua Merdeka) dan judge kita atas OPM, mereka adalah separatisme. Dan hal tersebut harus dibasmi. Cara pandang tersebut berbahaya bagi resolusi konflik.

Untuk memahami apa yang terjadi di Papua, dimulai dengan mencoba untuk membuat tipologi mengenai konflik Papua, berangkat dari asumsi bahwa OPM (Organisasi Papua Merdeka) adalah separatisme. Ada dua kata kunci penting atau kategorisasi dalam memahami separatisme, pertama komunal separatisme dan welfare separatisme.

Komunal separatisme ini tidak berarti memisahkan diri dari sebuah negara. Secara akademik artinya separatisme yang disebabkan atas dasar sebuah komunitas merasa perlu menarik garis, melindungi kulturnya, bahasanya, adatnya. Tapi mereka tidak bermaksud untuk keluar dari Indonesia. Kalau mereka bercampur dengan kultur yang lebih luas, mereka takut tercabut keluar dari identitas kultural mereka.

Separatisme yang kedua adalah welfare separatisme, yakni separatisme atas alasan kesejahteraan, karena alasan ekonomi. Dalam kategori ini masyarakat ingin menjadi penguasa sendiri di negeri mereka, supaya mereka dapat hidup lebih baik dan lebih kaya.Jadi alasan ekonomi yang mendorong orang meneriakkan separatisme. Lagi lagi dalam konsep yang kedua ini, separatisme bukan memisahkan diri dari entitas negara kesatuan. Kegagalan mengelola konflik pada level komunal separatisme, akan membawa orang kepada seseonisme. Jika kita tidak mampu, tidak bijak dalam mengelola orang yang bersuara berbeda, maka yang terjadi adalah pemberontakan. Karena pada dasarnya setiap orang ingin dihargai atas komunitasnya itu sendiri. Kalau setiap orang yang berbeda itu dianggap musuh, dan diperangi dengan kekerasan, maka kita sebenarnya sedang mempersiapkan rumah sakit bersalin untuk pemisahan diri.

“Kegagalan mengelola konflik pada level komunal separatisme, akan membawa orang kepada seseonisme. Jika kita tidak mampu, tidak bijak dalam mengelola orang yang bersuara berbeda, maka yang terjadi adalah pemberontakan. Karena pada dasarnya setiap orang ingin dihargai atas komunitasnya itu sendiri. Kalau setiap orang yang berbeda itu dianggap musuh, dan diperangi dengan kekerasan, maka kita sebenarnya sedang mempersiapkan rumah sakit bersalin untuk pemisahan diri”.

Kategorisasi atas separatisme ini sebenarnya adalah konsep akademis yang tidak banyak dibicarakan, memang sengaja dihindari karena akan merancu berbagai skenario yang dibuat untuk mengatasi konflik Papua. Dalam konteks ini orang Papua dalam tahap pertama berbicara menyangkut komunal separatisme. Indikatornya antara lain, mereka tidak menyebut Papua, tetapi tanah Papua. Tanah Papua itu tanah damai dan mereka mengakui siapapun hidup disana dengan damai. Jadi konsep mereka adalah mereka ingin tanah Papua yang damai tersebut dijaga. Jangan ada intervensi dari luar untuk merusak. Dalam fase ini yang terjadi adalah tuntutan untuk melindungi, memproteksi kultur, kultur Melanesia, kultur Papua, adat istiadat kebiasaan Papua.Namun kemudian dibajak oleh Jakarta sebagai suara yang berlawanan, suara yang berbeda, dan diprovokasi “ini pasti ada maunya”. Bahkan godaan berikutnya adalah melabelkan suara berbeda tersebut sebagai OPM. Tanggapan yang selama ini dipakai untuk menaklukkan komunal separatisme ialah dengan memakai pendekatan kesejahteraan. Asumsinya adalah kalau masyarakat Papua ini disejahterakan, maka masalah komunal separatisme ini akan hilang. Namun yang terjadi kemudian ialah banjir uang ke Papua. Karena tadahnya tidak disiapkan dengan baik, belum disiapkannya perangkat manajemen sumberdaya setempat, maka pemerintah mengulangi kesalahan yang sama banjir uang ke Timor Leste.Kebijakan yang salah untuk mengisi kantong orang-orang Timor Leste, telah menghasilkan pemisahan diri Timor Leste.

Dalam prakteknya seperti di Aceh, Timor Timur dan Papua, uang memang mengalir ke daerah tersebut, akan tetapi sebagian besar uangtersebut”nyangkut” di kantong pejabat lokal. Persoalan “nyangkut” di kantong pejabat lokal ini rupanya bukan kasus Indonesia saja. Dalam masalah konflik di Afrika, terutama Afrika Barat dan di Amerika Latin, intinya sama. Yaitu jikalau ada uang mengalir, maka uang tersebut akan mengalir ke pejabat lokal setempat.Kemudian terjadi pula fenomena daerah berlomba-lomba memperbanyak jabatan-jabatan publik setempatdengan strategi pemekaran.Oleh karena itu setelah pemekaran bisa dilihat banyak muncul Bupati baru. Dengan pemekaran muncul bertambahnya jumlahpegawai yang bisa direkrut. Dampak yang diharapkan adalah terciptanya kesejahteraan bahkan diharapkan munculnya perluasan kesejahteraan. Akan tetapi secara praktis tidak sesederhana itu. Uang tersebut kemudian justru menciptakan persoalan. Muncul praktek politik yang disebut dengan prebendialisme. Prebendialisme ini artinya adaalah menciptakan posisi posisi basah yang menjadi rebutan aktor-aktor lokal.

Dan atas uang tersebut muncul pepatah latin “pequnia non alet”, uang itu tidak bau. Mau uang korupsi, maupun uang halal sama aja. Jadi ketika uang tersebut ditumpahkan tanpa menyiapkan perangkat manajemen lokal, sesungguhnya pemerintah sedang membuat perangkap yang baru lagi yaitu mendelegasikan perangkat korupsi nasional ke daerah.Pemerintah juga sedang mendelegasikan front konflik antara Papua dengan Jakarta secara utuh. Membawanya pada tataran konflik antar orang Papua itu sendiri (antara pejabat dengan rakyatnya). Hal tersebut yang sebenarnya yang tengah terjadi. Terjadi salah penanganan terhadap komunal separatisme, namun ditangani dengan pendekatan welfare separatisme dengan tujuan supaya mereka tidak memisahkan diri. Dalam penanganan tersebut pun dilakukan tanpa persiapan. Akibatnya kelompok yang tidak puas ini mengambil garis, “dari pada kita di Indonesia terus lebih baik kita memisahkan diri”, yang berarti mereka sedang didorong untuk menjadi sesionisme, kelompok yang ingin memisahkan diri dari Indonesia.

Separatis bukan memisahkan diri. Separatis hanya ingin mengeksklusifkan diri di dalam sebuah teritori, di dalam sebuah negara kesatuan, di dalam sebuah negara federal. Berbeda dengan seseonisme yang sudah tidak percaya pada komunal. Baik itu kepercayaan terhadap perjuangan ideologis komunal separatisme maupun welfare separatisme. Mereka mengatakan jangan lagi percaya dengan janji-janji itu, sudah saatnya kita mengurus diri sendiri. Dan ini sebenarnya kesalahan yang dibuat, kalau kita belajar epidemologi , amoba itu berkembang biak dengan membelah diri. Bagi orang yang berpikiran separatis, semakin ia ditekan dengan keras, maka ia dibantu untuk mengembangbiakkan dirinya. Maka dari itu, pendekatan yang menggunakan kekerasan, model state security, sebagaimana yang dipakai sekarang, sebenarnya adalah pendekatan yang mendorong perkembangbiakan kaum separatis yaitu kaum sesionis. Pendekatan tersebut dianggap sebagai resolusi yang tidak menyelesaikan apa-apa.

“Separatis bukan memisahkan diri. Separatis hanya ingin mengeksklusifkan diri di dalam sebuah teritori, di dalam sebuah negara kesatuan, di dalam sebuah negara federal. Berbeda dengan seseonisme yang sudah tidak percaya pada komunal. Baik itu kepercayaan terhadap perjuangan ideologis komunal separatisme maupun welfare separatisme”.

Lantas apa yang sebenarnya menjadi isu komunal separatisme yang disuarakan masyarakat Papua? Mereka butuh penghargaan identitas sebagai warga Papua. Bahwa mereka mempunyai kultur, punya harga diri. Sekarang harga diri mereka diinjak-injak. Mereka mudah sekali diperlakukan seperti binatang, ditembak, diseret ke tengah lapangan bola hanya karena tuduhan oposisi OPM atau pendukung Bintang Kejora. Simplifikasi persoalan semacam itu telah mendorong masyarakat Papua berfikir, bagaimana bisa mereka aman tinggal di dalam negara ini.Jadi, kesalahan pendekatan mereproduksi kekerasan itu sendiri. Yang sering dilupakan dalam pembahasan adalah politik kultur dan politik identitas orang Papua. Seperti yang berkembang dalam wacana adalah mengenai “Papua tanah damai”. Artinya mereka tidak menginginkan orang yang membuat mereka berkonflik masuk, yakni tentara, dari kacamata mereka. Atas pandangan tersebut maka satu-satunya solusi adalah tentara harus keluar dari Papua. Itu cara pandang orang Papua. Persoalan Jakarta mau atau tidak, itu persoalan lain. Kedua, mereka berbicara mengenai proporsi penduduk asing dan pendatang. Jumlah pendatang ke Papua yang telah lebih dari 40% menciptakan kekhawatiran yang luar biasa. Hal ini bukan sekedar menyangkut pada politik demografi, namun lebih pada persoalan hegemoni identitas. Oleh karena itu pemerintah hendaknya tegas untuk berani mengangkat realita ini sebagai sebuah persoalan. Jika kita sekedar membicarakan hal-hal yang permukaan saja, persoalan tersebut hanya akan menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja.

Oleh: Rima Ranintya Yusuf

Leave a Reply