Lady Gaga dan Pertarungan Identitas Manusia Indonesia Pasca Soeharto

Lady Gaga masih ramai menjadi perbincangan masyarakat dan juga masih santer di media massa. Menambah deret perbincangan mengenai pro-kontra Lady Gaga konser di Indonesia, MAP Corner-Klub MKP mencoba melihat pro-kontra konser Lady Gaga sebagai cermin pertarungan identitas kelas atau kelompok dalam mengimajinasikan sosok manusia Indonesia (yang ideal) paska runtuhnya konsep manusia Indonesia versi Soeharto. Pertarungan ini merujuk pada pro-kontra seputar Lady Gaga ini mewakili kelompok yang mana? Siapakah yang akan lebih dominan? Dan ke mana sosok manusia Indonesia ini akan berlabuh?

Bersama dengan Frans Borgias, dosen Filsafat di Universitas Parahyangan, diskusi MAP Corner-Klub MKP pada 29 Mei 2012, mengangkat tema “Lady Gaga dan Pertarungan Identitas Indonesia Pasca Soeharto”.

Persoalan Lady Gaga gagal konser di Jakarta, dan FPI menang di situ. Ketika FPI menang, maka kelompok liberal, kelompok kampus, kelompok modern ini seolah kalah. Sebelum Lady Gaga ini gagal, FPI dan sebagainya itu berperang di situ dan memperebutkan apakah Indonesia ini akan dibikin ke arah FPI dengan arah islamismenya, atau dibawa ke arah Islam moderat, atau ke arah mana? Hal ini menjadi menarik, bagaimana persoalan Indonesia bisa seperti ini. Kita tidak bisa membayangkan bahwa Indonesia hari ini sudah selesai, dengan UUD 45 dan peraturan lainnya.

Pertarungan Ideologis ‘Manusia Indonesia’

Pembicara mengawali diskusi dengan memaparkan konsep Lady Gaga dalam peta, kemudian dibuat semacam tipologi tentang pertarungan identitas. Bagaimanapun juga ideologi ini erat pula dengan identitas. Pertama ada tipologi Kejawen atau Jawa yang mengidealkan manusia Jawa sebagai suatu ideologi. Kedua, kaum Islam, urban modernis, sering disebut juga sebagai Islam rasional modern yang biasanya disimbolkan dengan sosok Fachri dalam film Ayat-Ayat Cinta, sebagai model ideal dalam kelompok ini. Kelompok ketiga, kelas menengah urban liberal. Tidak disebut disini agamanya apa, pokoknya kelompok bebas. Mungkin tendensinya modern dengan kebarat-baratan, model yang diangkat diwakilkan dengan sosok Rangga dalam film Ada Apa Dengan Cinta. Ketiga kelompok ini kemudian dipertarungkan satu sama lain, ketika muncul Lady Gaga yang akan datang ke Indonesia. Lalu dintaranya ditulis kata “wina” diantara kelompok ini. Kemudian, oleh karena itu saya menyusuri secara historis pertarungan ideologis lain. Dikutip dari sebuah buku pemikiran politik. Dalam buku itu digambarkan sebuah kotak dengan PKI, PNI, NU dan Masyumi, dengan PKI di ekstrim kiri, Masyumi di ekstrim kanan, dan bagian tengah PNI dan NU.

“Bagaimanapun juga ideologi ini erat pula dengan identitas. Pertama ada tipologi Kejawen atau Jawa yang mengidealkan manusia Jawa sebagai suatu ideologi. Kedua, kaum Islam, urban modernis, sering disebut juga sebagai Islam rasional modern yang biasanya disimbolkan dengan sosok Fachri dalam film Ayat-Ayat Cinta, sebagai model ideal dalam kelompok ini. Kelompok ketiga, kelas menengah urban liberal. Tidak disebut disini agamanya apa, pokoknya kelompok bebas. Mungkin tendensinya modern dengan kebarat-baratan, model yang diangkat diwakilkan dengan sosok Rangga dalam film Ada Apa Dengan Cinta”.

Sedangkan di lingkaran tengah, bukan lagi konfigurasi partai politik. Namun aliran pemikiran, aliran spiritualitas, atau hal-hal lain diluar yang bernuansa politik. Di situ terlihat bahwa lingkaran yang mengikuti ekstrim kiri adalah komunisme, jelas itu PKI. Sedangkan lingkaran yang di bawah disebut tradisionalisme Jawa. Menarik bahwa tradisionalisme Jawa ini menurut pengamatan Feith dan Castles, berada di kotak ekstrim kiri, tengah dan rada kanan. Yang tengah ini saya sebut PNI, yang agak ke kanan ini NU. Paling besar tradisionallisme Jawa ini berada pada PNI ini, nasionalisme radikal. Kemudian, lingkaran yang ketiga adalah lingkaran Islam. Yang meliputi NU sebagai partai politik. Kalau kita ingat Geertz yang kemudian membaginya dalam santri, abangan dan priyayi. Dan lingkaran yang berkutnya itu yang disebut dengan democrat, yang di dalamnya terdapat TNI dan Masyumi. Mengapa pembicara harus mengutip ini?

Jika kita lihat pertarungan ini, yang ekstrim kiri ini kemudian kalah dan menghilang dari penjara. Yang berperan penting disini tentunya mungkin pemerintah dan angkatan darat. Akan tetapi dalam memberantas ekstrim kiri ini, mereka mencoba merangkul karena mereka tidak punya basis masa, maka pemerintah merangkul yang ke kanan-kananan. Maka kemudian pemerintah merangkul NU dan Masyumi, maka kemudian inilah yang membentuk tradisi Orde Baru.

Kalau di Amerika ini ada “WASP”, Maka kemudian di di Indonesia ini ada “JIMAD”. Kalau di Amerika untuk menjadi seorang presiden, kamu harus “White, Anglosaxon, Protestan”. Namun kemudian kalau Presiden Amerika Obama itu dia tidak “white, anglosaxon” tetapi dia tetap “Protestan”. Di Indonesia, dalam pikiran saya itu ‘Kalau kamu mau menjadi Presiden Indonesia, kamu harus Jawa, Islam, Militer, dan Angkatan Darat”.

Kembali pada persoalan di atas, menurut pembicara pemerintahlah yang mampu menentukan siapa pemenang dalam pertarungan. Karena pemerintahlah yang mempunyai masa. Pemerintah menarik kelompok tertentu untuk mendukungnya, PNI dan Masyumi dalam pandangan pembicara, dan PKI ditumpas. Kerjasama kelompok Islam dengan pemerintah Orde Baru ini begitu baik pada awalnya, walaupun kemudian tahun 1990-an ini mulai merenggang.

Siapa Pemenang ‘Lady Gaga’?

Kembali kepada pertanyaan utama, who is the winner dalam pertarungan ini? Menurut pembicara, tergantung pada pemerintah sekarang ini mau menggunakan kekuatan massa yang mana. Massa ini bisa digolongkan pada dua tipe, pertama massanya banyak tapi silence majority, kedua massanya minority tapi sangat vokal. Menurut pembicara, yang menang saat ini adalah pemerintah yang memainkan vocal minority tersebut. Tetapi model kemenangan tersebut tidak bersifat jangka panjang. Mengapa bisa seperti itu?

Ketika kita masuk pada pemikiran “manusia dan utopia”, tentang bagaimana kita ingin membangun bangsa kita saat ini? Diangkat dari Karl Popper Open Society and Its Enemies. Pertama, utopia tradisionalis konservatif. Yang berfikir bahwa bagaimanapun juga Negara pada masa kini harus dibangun dengan model masa silam. Karena masa silam ini yang paling ideal dan paling sempurna. Orang lupa bahwa masa silam yang kita ketahui itu konstruksi. Sebuah bangunan yang kita bentuk juga, jadi tidak selalu riil. Ada model ideal yang diambil, dan yang ideal tersebut kemudian dibesar-besarkan. Jika ada hal yang negatif, itu relatif diperkecil dan bahkan bila perlu ditiadakan. Ini menjadi bahaya besar ketika orang kemudian berpendapat bahwa untuk membangun Indonesia harus seperti Sriwijaya atau Majapahit. Yang artinya bahwa Singapura, Malaysia, Thailand Selatan dan Filipina Selatan harus diambil. Itu yang disebut Cooper sebagai tradisional konservatif, dan itu ada. Terdapat kelompok manusia dalam masyarakat kita yang mengidealkan seperti itu.

Kedua, utopia futuristik modern progresif. Berbanding terbalik dengan utopia yang pertama, utopia ini berorientasi pada masa depan. Salah satu yang dicontohkan oleh Cooper adalah Marx. Bahwa masyarakat yang modern itu adalah masyarakat tanpa kelas. Borjuis dihancurkan, lalu muncullah masyarakat tanpa kelas. Namun itu adalah cita-cita, tidak riil dan sulit untuk kita jadikan sebagai pegangan.

Oleh karena itu, muncullah alternatif ketiga yaitu utopia rasional kritis atau utopia ilmiah. Lihatlah masa kini, pertarungan saat ini. Dan pada tipe ini ideologi yang digunakan adalah iptek dan sains. Iptek dan sains ini digunakan untuk membangun terobosan-terobosan dan teknologi. Dan teknologi ini digunakan sebaik-baiknya untuk membangun kehidupan masyarakat yang lebih baik. Walaupun kita tidak menutup mata pula bahwa di situ terjadi pertarungan pula antara nilai-nilai agama dengan sains.

Kembali ke pertanyaan pertama, kemudian “who is the winner?”. Pemerintah dengan suara yang vokal itulah sang pemenang, akan tetapi perlu dilihat lagi mereka datang kepada masyarakat dengan membawa kacamata yang mana. Apakah utopia tradisionalis konservatif, ataukah dengan utopia futuristik modern progresif, utopia rasional kritis atau utopia yang lain yang ditawarkan?

Di dalam fenomena penolakan atas kedatangan Lady Gaga ini, terlihat bahwa FPI yang berhasil menekan dan memenangkan pertarungan. Apakah ini merupakan sebuah kemungkinan bahwa Indonesia ke depan adalah Indonesia dalam bentuk Negara yang sesuai dengan konsep kelompok minoritas yang vokal ini, dalam hal ini FPI, dalam konteks mereka berhasil memblokade Lady Gaga untuk datang ke Indonesia?
Dalam jangka panjang silent majority juga akan bergerak. Mereka juga akan gerah dengan keadaan tertentu. Jika kemudian menjadi pertanyaan apakah kemudian Indonesia akan bergerak ke arah bentuk Indonesia yang ideal menurut kelompok minoritas tertentu, tentu saja tidak. Akan muncul saatnya, silent majority itu akan menunjukkan rasionalitasnya sendiri, akan menunjukkan kekuatannya sendiri.

“Dalam jangka panjang silent majority juga akan bergerak. Mereka juga akan gerah dengan keadaan tertentu. Jika kemudian menjadi pertanyaan apakah kemudian Indonesia akan bergerak ke arah bentuk Indonesia yang ideal menurut kelompok minoritas tertentu, tentu saja tidak. Akan muncul saatnya, silent majority itu akan menunjukkan rasionalitasnya sendiri, akan menunjukkan kekuatannya sendiri”.

Ketika pembicara menerjemahkan sebuah buku dari Karen Amstrong, Bible Biografi, salah satu bagian dalam buku itu adalah bagaimana agama-agama itu menasirkan kitab sucinya untuk kepentingan umatnya. Ternyata dalam berbagai tradisi agama muncul suatu kriteria bahwa kriteria tafsiran yang paling baik itu adalah cinta-kasih. Prinsip dasar cinta kasih adalah membiarkan nilai hidup, tumbuh dan berkembang. Jika melihat dengan keadaan yang sekarang, jangankan hidup dan berkembang, dilindungi saja tidak. Maka fenomena seperti itu bukanlah syarat ideal dalam kehidupan beragama. Kehidupan bersama harus dilandasi oleh kemauan menerima satu sama lain.

Terdapat pandangan pesimis tentang apakah silent majority ini akan bergerak? Karena silent majority merupakan bagian masyarakat yang sangat mudah terpengaruh oleh budaya dari luar maupun perubahan system yang ada, baik yang perubahan sistem yang dibentuk oleh penguasa maupun kelompok tertentu. Silent majority adalah obyek saja yang bisa dimainkan sedemikian rupa. Menjadi sebuah hal yang menarik untuk diperbincangkan, bagaimana silent majority tersebut bergerak dan dalam bentuk apa dia akan bergerak.

Silent majority ini juga mempunyai corong-corong untuk bersuara, baik dalam bentuk organisasi massa maupun organisasi intelektual. Melalui organisasi itulah mereka akan menyatakan pendapatnya. Memang sering muncul pandangan bahwa silent majority ini sifatnya mengambang, dank arena mengambang ini mereka bisa digunakan dalam kepentingan apa saja. Meskipun demikian, silent majority ini pasti akan bergerak pula dengan caranya sendiri, melalui corong perwakilannya yang pasti akan didengar pula.

Menurut Wahyu Riawanti, mahasiswi program Doktoral Administrasi Publik, berbicara mengenai Lady Gaga, sebenarnya baik dari sisi konten, syair ataupun lirik sudah basi. Jika dibandingkan dengan jaman dahulu memang kemudian tidak persis sama, karena jaman dahulu belum ada social media. Jika kemudian dikatakan bahwa pemerintah yang memenangkan silent majority, apakah itu berarti bahwa pemerintah sama dengan FPI atau pengalihan isu.

Pembicara berpendapat bahwa jawaban yang paling aman dan mudah adalah pengalihan isu. Banyak isu-isu besar yang terjadi di republik ini, seperti kasus korupsi dan perhatian orang tertuju pada hal tersebut. Ketika ramai-ramainya pemberitaan media mengenai kasus korupsi, tertutupi kemudian dengan peristiwa Sukhoi. Pasca Sukhoi, perhatian orang kembali pada kasus korupsi. Baru sejenak, kemudian teralihkan lagi dengan kasus Lady Gaga. Namun jika ingin kita telusuri secara serius, mulai dari sejarah FPI, FPI ini pada mulanya adalah organisasi yang dipelihara pemerintah.

Sedangkan pendapat dari Robert Baowollo, peneliti di bidang konflik etnis dan agama, persoalan mengenai Lady Gaga dengan manusia Indonesia seperti apa, salah satu pernyataan menarik yang perlu dibahas adalah mengenai fundamentalisme dan cara pandang orientasi lari ke belakang, orientasi masa lalu ke jaman keemasan merupakan penyakit yang diderita budaya tertentu, di antaranya kelompok agama, dan kemudian mewarnai kehidupan modern jaman sekarang.

Dari situ muncul kerinduan kembali ke masa lalu akan kejayaan masa lalu, tanpa penjajahan dari luar. Maka diskusi yang muncul kemudian adalah perang Salib harus dihidupkan kembali. Dan musuh yang dihadapi adalah individu. Maka kemudian muncul gejala psikologi yang mulai diterapkan dalam sejarah tentang bagaimana menghidupkan kembali hilangnya kejayaan Islam di Semenanjung Siberia? Muncul pula kesadaran di Indonesia, harus mempertahankan setiap jengkal luas wilayahnya. Sejarah masa lalu dihidupkan kembali seolah-olah menjadi aktor masa kini. Dan kita akan kembali dihadapkan dengan relasi dialektis, dengan realitas. Orang tidak bisa berangkat dari ideologi awalnya murni, langsung menguasai dunia persis dengan ideologinya 100%. Sebagai contohnya adalah sebelum rezim Mubarak jatuh, partai Ihwanul Muslimin yang dahulunya didirikan oleh Hassan Al Banna, masih relatif terbuka. Namun begitu jatuh pada generasi berikutnya, telah berubah menjadi fundamentalisme absolut. Inilah yang kemudian mendorong munculnya ide untuk melawan rezim Mubarak yang dianggap dipengaruhi dan dalam kendali Barat. Akan tetapi ketika mereka konstan pada kekuasaan, mereka tidak punya alternatif lain kecuali mereka harus mau bersahabat dengan seluruh dunia dan mereka menurunkan tensinya.

Itu yang disebut dengan proses dialektis dalam berideologi. Begitu pula yang terjadi dengan fundamentalisme Kristen yang terjadi di Irlandia Utara, kemudian gerakan fundamentalis yang terjadi di Amerika tahun 1902. Mimpi untuk kembali ke masa lalu ini lagi-lagi dikatakan sebagai sejarah masyarakat yang sakit. Dalam masyarakat yang sakit itulah yang sekarang dalam konteks Indonesia ini disebut dengan dikotomi mayoritas-minoritas, dan kemudian muncullah istilah silent majority itu. Dan jika kita coba lihat dari sisi yang lain, dari sisi psikoanalisis yang terlihat sekarang adalah kelompok mayoritas mengalami syndrome psikosis dari kelompok minoritas. Bahwa ketakutan yang seharusnya diidap oleh kelompok minoritas, ternyata sekarang diidap oleh kelompok mayoritas di Indonesia. Karena kelompok mayoritas di Indonesia ini didalamnya dikooptasi oleh kelompok kecil yang kebetulan mendapat bangku kekuasaan dan kebetulan penduduk lokal.

Kemudian menyangkut pengalihan isu, ini sebuah kata kunci penting namun tidak cukup untuk kita katakana ini pengalihan isu. Pertanyaan kita adalah bagaimana pengalihan isu ini ditangkap sebagai sebuah metode dalam sebuah proses social engineering? Kita hanya sering menyebut itu adalah pengalihan isu tanpa pernah belajar bagaimana sebuah isu itu dikemas, dalam konteks sosial seperti apa sehingga ketika isu tersebut dilepas pasti akan nada reaksi seperti itu. Pengalihan isu ini tentu hanya akan berhasil ketika dilakukan oleh orang yang paham akan persoalan dan mempunyai keberanian dalam menghadapi persoalan.

Sudut pandang lain dikemukakan oleh Afif Mohammad, mahasiwa Pasca Sarjana Program Studi Sosiologi UGM, ketika kita berdebat mengenai persoalan identitas, akan sulit sekali ditemukan titik temunya. Salah satu perspektif yang ditawarkan oleh Budiman Sudjatmiko, kalau kita baca dalam harian Kompas tentang 14 tahun reformasi ini terkesan bahwa reformasi dibajak. Tapi Budiman berkata bahwa tidak ada pembajakan reformasi, tidak ada penumpang gelap. Yang ada adalah rebutan dari berbagai pihak untuk mendefinisikan ulang apa itu Indonesia, apa itu Negara. Ia mengkategorisasikan menjadi tiga. Pertama kelompok konservatif, yang mendefinisikan warga Negara sebagai umat. Warga Negara ini berhak diatur dengan menggunakan kaidah-kaidah keagamaan, karena posisi warga Negara ini sama dengan umat. Kedua, kelompok liberal yang menganggap warga Negara, kewargaan disamakan dengan konsumen. Kelompok ketiga adalah kelompok progresif. Kelompok ini mendefinisikan kewargaan sebagai citizenship, kewargaan sipil. Celakanya, pasca reformasi kelompok progresif ini relatif minggir. Dia punya visi untuk memperkokoh civil society sehingga dia tidak masuk dalam pusaran politik dan ekonomi. Dua kelompok pertama tadilah yang ramai-ramai mengisi pusaran politik dan ekonomi sehingga mereka mempunyai kekuatan dan kekuasaan. Dalam persoalan Lady Gaga inilah sangat terlihat jelas bagaimana pertarungan nalar berjalan atas dua kelompok tersebut, antara kelompok liberal dan konservatif. Jangan-jangan ini bukan persoalan mayoritas dan minoritas, namun sejak awal mereka telah terdiaspolatik dan keduanya telah sama-sama kuat.

Oleh: Rima Ranintya Yusuf

One Reply to “Lady Gaga dan Pertarungan Identitas Manusia Indonesia Pasca Soeharto”

Leave a Reply