Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Relasi Kekuasaan

Saat ini, kekerasan terhadap kaum perempuan marak terjadi di Indonesia. Sebut saja kasus yang menimpa Yuyun (14), warga Desa Kasie Kasubun Bengkulu yang diperkosa dan dibunuh oleh 14 orang pria pada bulan April lalu. Kasus pemerkosaan lain terjadi pada seorang anak yang masih duduk di kelas VI SD yang dilakukan oleh 10 orang remaja baru-baru ini (15 mei 2016). Beberapa kasus yang terjadi di atas hanyalah puncak dari sebuah gunung es. Menurut Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) tingkat kekerasan terhadap kaum perempuan mengalami kenaikan secara signifikan. Komnas Perempuan mencatat jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2014 sebesar 232.220 yang mengalami peningkatan secara signifikan pada tahun 2015 menjadi sebesar 321.752 kasus atau naik sebesar 28 persen (89.532 kasus).

Sebenarnya, peraturan yang terkait dengan perlindungan terhadap kaum perempuan dari berbagai tindakan kekerasan baik seksual, fisik, psikis telah ada seperti Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Hanya saja, kekerasan terhadap perempuan masih juga terjadi. Bukan tanpa sebab jika wacana untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penghapusan Kejahatan Seksual kian kuat. Aturan baru itu nantinya diharapkan mampu memproteksi kaum perempuan dan memberikan efek jera kepada pelakunya. Dalam konteks ini, maka timbul beberapa pertanyaan: Mengapa kekerasan perempuan sangat tinggi di Indonesia? Bagaimana kebijakan melindungi kekerasan terhadap perempuan? Bagaimana gerakan perempuan merespon hal tersebut?

Kekerasan Terhadap Kaum Perempuan: Posisi Perempuan dan Hukum


Menurut Dewi Candraningrum, Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan yang menjadi salah satu pemantik pada diskusi MAP Corner-Klub MKP pada tanggal 17 Mei 2016 lalu, ada beberapa stigma-stigma sosial dalam masyarakat yang membuat perempuan selalu menjadi korban kekerasan seksual. Stigma-stigma sosial ini salah satunya adalah mitos tentang keperawanan yang jika sudah dirusak dianggap tidak berharga lagi. Mitos ini membuat keadaan menjadi lebih buruk karena setelah seorang perempuan mengalami kekerasan seksual dan dikembalikan kepada keluarga, banyak keluarga yang menolak untuk menerima mereka kembali. Mitos seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara lain. Seperti yang terjadi pada banyak anak perempuan yang diculik dan diperkosa oleh kaum fundamentalis di Amerika, yang ditolak oleh keluarga dan masyarakat saat mereka dikembalikan. Korban perkosaan yang mungkin saja mengalami trauma dan seharusnya butuh dukungan, ternyata malah harus menghadapi tekanan dari keluarga dan masyarakat.
Kemudian menurut Dewi, mitos kedua adalah kekerasan seksual terjadi pada perempuan karena salah dari perempuan itu sendiri. Padahal kekerasan perempuan bukan terjadi karena cara seorang perempuan berpenampilan, tetapi ini terjadi pada banyak perempuan yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan penampilan. Kekerasan seksual terjadi pada bayi usia dua bulan, pada nenek-nenek, pada seorang pelajar yang memakai pakaian seragam dan lain-lain. Kekerasan seksual dapat terjadi kepada siapa saja. Penyebab utama kekerasan seksual terjadi adalah karena adanya relasi kekuasaan yaitu dilakukan oleh seorang yang lebih berkuasa terhadap yang lebih tidak berkuasa. Perempuan seringkali dikerdilkan dan dianggap tidak berdaya. Misalnya terjadi pada guru terhadap murid, senior pada junior, ayah kepada anak. Hal ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan penampilan dan perilaku korban. Inilah sebabnya 95% kasus perkosaan terjadi di rumah, bukan di jalan atau di daerah asing.


Penyebab lainnya kekerasan seksual terjadi adalah karena cinta (love kills). Kekerasan seksual terjadi oleh suami pada istri atau oleh seseorang pada pacarnya. Kekerasan seksual dalam hubungan ini terjadi karena hubungan yang tidak sehat.

Kebijakan yang belum mendukung terhapusnya kekerasan seksual juga menjadi salah satu penyebab terus terjadinya hal ini. Defisit diskusi seksualitas yang kita alami saat ini juga menjadi salah satu faktor utama. Pembicaraan mengenai hal-hal berbau seks yang masih dianggap tabu menjadikan banyak anak-anak yang mungkin bahkan belum mengetahui sama sekali hal-hal seksual menjadi korban. Banyak anak-anak yang diperlakukan tidak wajar, tetapi mereka tidak dapat bereaksi apa-apa karena belum mengerti sama sekali tentang apa yang dilakukan terhadap diri mereka. Minimnya pendidikan seks baik di keluarga ataupun di sekolah membuat kita tidak mengenali tubuh kita sendiri serta batas-batas yang dapat diintervensi oleh orang lain.
Pipin Jamson, pemantik dari Komite Perjuangan Yogyakarta mengatakan bahwa kekerasan seksual juga salah satu akibat dari sistem kapitalis. Sistem kapitalis yang menekan perempuan secara ekonomi membuat mereka harus berada pada keadaan-keadaan berbahaya untuk menyambung hidup. Mereka harus keluar dari rumah, zona nyaman mereka untuk menjadi buruh-buruh.

Menurut Pipin kekerasan seksual tidak hanya terjadi pada wanita normal, tetapi banyak juga terjadi pada difabel, lansia, anak-anak bahkan pada kaum LGBT. Perempuan yang difabel dianggap tidak akan tahu dan merasakan apa-apa, serta dianggap paling lemah. Sedangkan kekerasan seksual yang terjadi pada kaum LGBT dalih utamanya adalah sebagai correction rape, yaitu pemerkosaan untuk membuat seseorang mengganti orientasi seksualnya. Kekerasan terhadap perempuan yang semakin hari semakin menjadi ini membutuhkan satu aturan sendiri yang mengatur penghapusan kekerasan terhadap perempuan, bukan hanya bertumpu pada aturan-aturan sebelumnya yang belum mengakomodasi secara penuh.

Respon Gerakan Perempuan


Komite Perjuangan Perempuan mengajak perempuan untuk lebih peduli dan sadar akan kekerasan seksual dengan mengadakan campaign for awareness. KPP melakukan mobilisasi massa untuk menyebar kepedulian dan dengan banyaknya orang yang peduli KPP berharap RUU penghapusan kejahatan seksual dapat lebih cepat disahkan. Aksi-aksi solidaritas banyak dilaksanakan oleh KPP seperti panggung demokrasi untuk Marsinah dan Tribute to our sister untuk Yuyun. Kampanye perjuangan untuk perempuan juga mereka lakukan lewat media sosial. Tujuannya agar masyarakat bisa mendapatkan bacaan dan informasi yang baik.
Kekerasan seksual terjadi bukan karena kesalahan oleh perempuan itu sendiri dalam berpenampilan serta bersikap, tetapi karena adanya ketimpangan relasi kekuasaan yang mengkerdilkan perempuan. Jika perempuan dianggap setara dan tidak ada pendiskreditan diri, maka kekerasan seksual terhadap perempuan sangat mungkin untuk dikurangi. Untuk menghindari terjadinya kekerasan seksual oleh pasangan harus dibangun pola hubungan yang sehat serta komunikasi yang baik. Menurut Dewi, kurangnya diskusi dan pengetahuan mengenai seksualitas juga menjadi salah satu sebab. Oleh karena itu kita harus peduli dan sadar akan hal-hal yang dapat menuju pada kekerasan seksual yang dilakukan oleh senior kepada yunior, baik yang terlihat ataupun tak kasat mata seperti yang berawal dari bujuk rayu. Pendidikan seksual harus diajarkan, baik secara formal maupun informal sebagai bagian dari kepedulian kita. Kekerasan seksual saat ini bukan lagi masalah individual, tetapi merupakan masalah kolektif dan struktural. Oleh karena itu perlu kesadaran bukan hanya dari perempuan dan laki-laki saja, tetapi dari semua pihak termasuk pemerintah dalam menetapkan aturan.

Leave a Reply