Indonesianis, Birokratisasi Kampus dan Kemandekan Ilmu Sosial Indonesia

Kata “Indonesianis”, merujuk pada tokoh berkewarganegaraan Asing yang memiliki ketertarikan terhadap penelitian kebudayaan, sosial dan politik di Indonesia.Tokoh Indonesianis dengan mudah diidentifikasikan dengan tokoh-tokoh seperti Clifford Geertz, George McT. Kahin, Benedict Anderson, Herbert Feith, W.W Wertheim, Richard Robison, Jefrey Winters, Max Lane, Edward Aspinall dan berbagai tokoh lainnya. Salah satu tokoh Indonesianis yang banyak menginspirasi perkembangan Ilmu social di Indonesia adalah Benedict Anderson dengan karyanya “Imagined Communities”, yang menceritakan tentang pengalaman dan pengetahuannya tentang Indonesia.

Indonesianis erat kaitannya dengan sejarah Indonesia. Istilah ini digunakan sebelum kemerdekaan Indonesia. Adapaun sumber pengetahuan Indonesianis banyak berasal dari tulisan-tulisan Belanda tentang Indonesia dan juga cerita dari orang Pribumi. Meskipun demikian, mereka saat itu tidak digolongkan sebagai “Indonesianis”. Perkembangan Indonesianis terjadi pada akhir tahun 1980-an. Pada tahun ini berkembang kategorisasi ilmu sosial yang ada di Indonesia. Kategorisasi Indonesianis sendiri merujuk pada adanya rasisme antara Pribumi dengan Non-Pribumi. Istilah Indonesianis tersangkut pada kategori kedua.

Selanjutnya, Indonesianis banyak menginspirasi perkembangan ilmu sosial di Indonesia. Besarnya dominasi Indonesianis berimplikasi pada ketergantungan kita pada karya-karya Indonesianis. Bahkan untuk melihat peta perkembangan ilmu social, kita harus diperhadapkan dengan karya-karya Indonesianis. Apa yang menyebabkan dominasi Indonesianis terhadap perkembangan ilmu social Indonesia dan mengapa intelektual dalam negeri nampak tidak mampu melakukan riset mendalam tentang ke-Indonesia-an? P.M Laksono, Guru Besar FIB UGM berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan itu pada diskusi MAP CORNER-Klub MKP edisi Selasa 22 Desember 2015.

Belajar dari Kesaktian “Indonesianis”

Menurut Laksono, salah satu poin amat penting yang dimiliki para Indonesianis ialah adanya perspektif yang konsisten. Perspektif yang meletakkan cinta pada subyek penelitian. Penelitian tentang Indonesia didasari pada cinta terhadap Indonesia. Selain itu, penelitian selalu dijadikan sebagai bagian dari diri peneliti (subyek). Indonesianis memperlakukan Pribumi sebagai bagian dari keluarga mereka yang di cintainya. Dari sini nampak jelas bagaiamana Indonesianis menceburkan diri menjadi bagian dari kehidupan masyarakat yang tidak terpisah. Antara peneliti dengan obyek penelitian memiliki satu kesatuan yang terbungkus oleh cinta dan saling menghargai. Penghargaan inilah yang membuat Indonesianis mampu menjadikan semua diluar dirinya menjadi subyek penelitian mereka yang hidup. Dari sini, kita bisa melihat bagaimana mereka umumnya berhasil menggambarkan subyek penelitian mereka dengan hidup dan nyata.

Aspek lain yang dimiliki para Indonesinis, namun tidak dimiliki intelektual Indonesia, ialah penggunaan metodologi komparatif. Para peneliti asing umumnya terbiasa meletakkan persoalan sosial sebagai sesuatu yang majemuk dan memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Ini berarti, apa yang terjadi di Indonesia perlu dikaitkan dan dibandingkan dengan yang terjadi di bagian lain dunia. Kemampuan melihat persoalan atau realitas sosial sebagai suatu jalinan yang tidak terpisahkan satu sama lain mensyaratkan hadirnya analisa sejarah yang melekat pada tiap topik yang dikaji. Indonesianis umumnya berhasil mengembangkan deskripsi tentang Indonesia menggunakan perspektif sejarah berbeda dari sejarah resmi yang dibuat penguasa. Sebaliknya, peneliti dalam negeri seringkali melihat kondisi hari ini sebagai sesuatu yang terpisah dari peristiwa sejarah. Metode komparatif sering dilupakan oleh peneliti Indonesia dan juga fenomena sosial selalu dipisahkan secara terkorkotak-kotak.

Keunggulan ketiga dari para Indonesianis ialah soal pengalaman riset (struktur riset). Indonesianis memiliki pengalaman riset yang sangat baik, terlihat dari struktur riset mulai dari cara mendeskripsikan obyek penelitian sampai kepada struktur pertanyaan penelitian. Sementara struktur riset dalam negeri banyak di dominasi oleh struktur pertanyaan penelitian yang masih kabur dan riset yang dilakukan masih mengambang.Struktur riset sendiri banyak dipengaruhi oleh lingkungan akademik di Indonesia yang sejak dulu mendesain pendidikan hanya sebatas aktualisasi untuk mengungkapkan keresahaan tetapi tidak sampai kepada pendidikan yang sifatnya solutif. Selain itu, kecenderungan peneliti dalam negeri terlalu dini menyimpulkan sesuatu sebelum mendeskripsikan apa yang mereka amati dengan seksama. Kondisi ini berbeda dengan Indonesianis yang selalu mengawali riset dengan observasi mendalam sebelum mengambil konklusi dari fenomena yang dihadapinya.

Hal lain yang perlu diteladani dari Indonesinis, menurut Laksono, terkait dengan tradisi ketekunan dan tradisi Intelektual.Tradisi ketekunan terwujud dari adanya usaha pengarsipan atas kejadian-kejadian di Indonesia yang dilakukan secara rutin, seperti pada katalog militer dibuat secara manual yang menggambarkan kondisi militer di Indonesia. Inilah yang dilakukan oleh Ben Anderson di Cornell ketika saat itu teknologi internet belum dikenal dan komputer masih terbatas penggunaannya. Ben juga aktif mengikuti pemberitaan tentang Indonesia melalui media-media yang selanjutnya di buat ke dalam catatan harian berdasarkan urutan kejadian lalu diarsipkan. Indonesianis berusaha tidak melewatkan sedikitpun peristiwa penting yang terjadi di Indonesia. Meski dilakukan secara manual, arsip dan file-file yang mendeskripsikan tentang Indonesia tersimpan sangat rapi dan terjaga. Sementara untuk tradisi intelektual dilakukan dengan membangunan komunitas-komunitas diskusi. Indonesianis selalu mengapresiasi siapa saja yang ingin belajar bersama dengan mereka dan menjadikan semua orang sebagai sumber pengetahuan. Mereka juga menghargai orang lain dan selalu menempatkan orang lain sebagai inspirasi pengetahuan mereka. Bukan hanya komunitas intelektual saja, Indonesianis seperti Ben Anderson bahkan lebih mementingkan orang-orang biasa seperti buruh, pekerja informal, petani sebagai sumber pengetahuannya, dibanding para elit ekonomi-politik.

Birokratisasi dan Pasarisasi Kampus

Tentu saja, selain aspek kultural yang dimiliki Indonesianis dan tidak dimiliki intelektual Indonesia, kebuntuan ilmu sosial Indonesia juga ditentukan oleh struktur pendidikan tinggi. Kondisi pertama berkenaan dengan hadirnya rezim anti-kritik. Rezim nampaknya membungkam bahkan membumi hanguskan intelektual yang mencoba mengungkap sisi lain dari peristiwa sejarah tentang perkembangan ilmu sosial di Indonesia. Sejarah dibentuk secara sepihak sementara intelektual yang memberikan perspektif kritis di anggap sebagai golongan terlarang. Hal ini akan berimplikasi pada perkembangan ilmu sosial yang buta sejarah dan kehilangan jejak peta kekuasaan masa lalu. Ini terutama terjadi pada masa Suharto ketika ilmu sosial diarahkan dan dikendalikan oleh negara untuk kepentingan legitimasi penguasa. (Lebih jauh lihat Dhakidae & Hadiz, 2006).

Kondisi kedua ialah kuatnya fenomena birokratisasi kampus. Perguruan tinggi harusnya menjadi lembaga yang memproduksi intelektual, seorang ilmuwan yang tidak menerima realitas sosial sebagai taken for granted, melainkan mampu bersikap kritis dan memiliki keberpihakan sosial yang jelas. Tetapi sejak pasca Suharto, lembaga pendidikan cenderung lebih berorientasi pada pasar. Perguruan tinggi lebih mengarahkan mahasiswa menjadi pekerja yang akan bersaing di dunia pasar kerja, ketimbang menjadi intelektual. Tidak heran jika kita makin mudah melihat terpisahnya kajian akademik didunia kampus dengan keadaan sosial yang menjadi perhatian masyarakat biasa sehari-hari. Birokratisasi kampus juga akhirnya turut berkontribusi atas matinya tradisi intelektual di dalam negeri. Birokratisasi kampus lebih sibuk pada persoalan seremoni dibanding dengan peningkatan kualitas mahasiswa. Hal ini misalnya terjadi pada kriteria cumlaude yang lebih berorientasi pada masa studi bukan pada kualitas riset yang dihasilkan. (Lebih jauh lihat Hadiz & Dhakidae, 2006).

Aspek lain yang menjadi kelemahan intelektual Indonesia, menurut Laksono ialah begitu kuatnya arogansi intelektual dalam negeri. Arogansi terutama dibentuk oleh kian kuatnya nilai-nilai pasar yang dijalankan dalam pengelolaan kampus. Pendidikan tinggi kita diarahkan pada dogma-dogma pasar yang menciptakan manusia individualis yang memisahkan diri dari lingkungan sekitarnya. Arogansi ini menciptakan indivdualis ekslusif yang tidak lagi sudi berbaur dengan masyarakat marginal dan terbelakang.Terpisahnya pribadi intelektual dengan kehidupan rakyat biasa ini yang menyebabkan penelitian dan perkembangan sosial dalam negeri menjadi nampak tidak relevan dengan kondisi umum rakyat.

Perkembangan ilmu sosial yang banyak didominasi oleh Indonesianis dan krisis intelektual dalam negeri akibat birokratisasi dan pasarisasi kampus berdampak pada hilangnya martabat ilmu sosial yang diproduksi intelektual dalam negeri. Martabat itu hanya bisa diperoleh kembali ketika kajian ilmu sosial menyatu kembali dengan kehidupan rakyat biasa. Tentu saja, ini juga mensyaratkan perombakan struktur pendidikan tinggi yang sekarang sudah nyaris tidak ada bedanya dengan korporasi. Sebagai usaha kesana, intelektual muda sudah sewajarnya menyeburkan diri kembali pada problem-problem sosial di sektiar mereka, seperti yang dikatakan oleh Benedict Anderson bahwa Indonesia sebenarnya memilki potensi yang luar biasa khususnya pada kaum mudanya. Revolusi kaum muda intelektual ini perlu senantiasa di pupuk sebagai bagian dari upaya memajukan ilmu sosial di Indonesia.

Rujukan
Hadiz, Vedi and Dhakidae, Daniel. 2006. Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta: PT Equinox Publishing Indonesia

Leave a Reply