Bahaya Laten Narasi Sejarah Orba: Keluar dari Imajinasi Ketakutan dan Mencari Sejarah Alternatif

Pemberangusan dan pengebirian hak warga negara untuk berekspresi, berpendapat, dan berdiskusi kini terjadi lagi. Acara yang bertajuk Belok Kiri Festival selama sebulan terakhir mendapatkan penolakan dari beberapa kelompok seperti Gerakan Pemuda Islam Indonesia Jakarta, Front Aktivis Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum Duta, Korps Mahasiswa GPII, Korps Brigade PII, Himpunan Mahasiswa Lombok Jakarta, Pemuda Cinta Tanah Air dan juga Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Jakarta Raya. Beberapa pihak tersebut menyebut acara tersebut sebagai perwujudan komunis gaya baru dan Polda Metro Jaya tidak mengeluarkan izin karena dianggap memunculkan potensi kericuhan. Acara yang sedianya digelar di Taman Ismail Marzuki akhirnya tetap diselenggarakan tapi dengan perubahan tempat menjadi di LBH Jakarta.

Proses pengkerdilan demokrasi bukan hanya sekali itu saja terjadi, namun telah terjadi berkali-kali di tahun 2016 ini, terutama terkait isu minoritas, komunis phobia, dan peristiwa 1965. Acara Belok Kiri Festival ini sendiri berupaya untuk mengusung sejarah alternative yang keluar dari propaganda rezim Orde Baru dan menawarkan cara berfikir kiri sebagaimana menurut panitia acara sebagai “cara berpikir alternatif, kritis, berpihak kepada kemanusiaan, dan progresif”. Kemudian mengapa terjadi gelombang penolakan terhadap acara Belok Kiri Fest ini? Apa yang salah dari upaya diskusi alternative yang keluar dari propaganda Orba? Mengapa cap “komunis” mudah sekali dilontarkan dan membuat mereka yang di cap seolah layak untuk direbut hak warga negaranya? Mengapa aparat Negara seolah membenarkan tindakan pengebirian demokrasi tersebut? Apakah logika berfikir tersebut sebagai akibat proses hegemoni narasi sejarah yang berlangsung puluhan tahun? Bagaimana cara membuka dan mempertahankan ruang-ruang berpendapat, berekspesi dan berdiskusi dari ancaman kelompok reaksioner dan juga aparat Negara?

Melalui pertanyaan-pertanyaan di atas, diskusi MAP Corner-klub MKP UGM diselenggarakan pada Selasa, 15 Maret 2016. Dengan mengambil tema ““Belok Kiri Festival dan Kontestasi Narasi Sejarah”, diskusi MAP Corner-klub MKP UGM kali ini mencoba untuk membuka ruang eksplorasi ide, gagasan dan solusi kritis. Dalam diskusi tersebut menghadirkan dua orang pembicara, yaitu Tia Pamungkas (Dosen Fisipol UGM) dan Irfan Muhammad (Ketua HMI Cabang Bulaksumur – DIY).

Tia Pamungkas mulai memantik diskusi dengan bertanya tentang apa itu gerakan kiri dan mengapa gerakan kiri seringkali salah diartikan serta bagi kelompok tertentu mengapa gerakan kiri seperti hantu yang menakutkan?. Menurut Tia, gerakan kiri bukan hanya berdasar pada tiga aliran idiologi marxisme, sosialisme dan komunisme. Pemahaman tentang gerakan kiri tersebut sampai sekarang menjadi pemahaman umum di tengah masyarakat. Baginya memahami gerakan kiri itu sebenarnya bukan hanya bersumber pada tiga idiologi tersebut, akan tetapi lebih tentang bagaimana gerakan tersebut berpedoman pada pemikiran kritis. Sesuatu dianggap sebagai pemikiran kritis ketika mampu mengkritisi apa yang ada diluar kita serta juga mampu untuk mengkritik diri kita sendiri. Selain itu juga berpihak kepada nilai kemanusiaan dan pencarian terhadap nilai kesetaraan.

Kemunculan separasi antara gerakan kiri (left-wing politics) dan gerakan kanan (right-wing politics) memang pertama kali muncul pada masa Revolusi Perancis di tahun 1789 sampai 1799. Kaum republik yang menentang Ancien Regime di klasifikasikan sebagai kelompok kiri, karena dalam setiap sidang selalu duduk disebelah kiri presiden di parlemen. Sedangkan kaum monarkis yang menjadi pendukung Ancien Regime duduk disebelah kanan ruangan dewan parlemen Prancis, sehingga kemudian disebut sebagai kelompok kanan. Pada awal terbentuknya, gerakan kiri lebih menunjuk pada perjuangan menentang ide-ide lama yang terejawantahkan dalam sistem feodalisme, aristokrasi dan monarki absolut. Kemudian pada perkembangannya politik kiri memiliki identifikasi sebagai politik yang mengambil garis politik progresif, egaliter, dan berpihak pada kelas bawah.

Garis politik yang diambil oleh gerakan kiri tersebut membuatnya bertolak belakang dengan basis politik gerakan kanan yang bersifat konservatif, non-egaliter dan berpedoman pada kepentingan kelas atas. Peristiwa 1965 tidak hanya kejahatan kemanusiaan, akan tetapi juga pembantaian kapasitas gerakan kiri yang dilakukan oleh gerakan kanan. Berkuasanya rezim Orde Baru (Orba) membuat penting kiranya bagi penguasa untuk meneguhkan hegemoninya dengan menanamkan imajinasi ketakutan dan terror terhadap apa saja yang berbau “kiri” serta membuat narasi sejarah tentang bahaya laten gerakan kiri.

Narasi sejarah yang diproduksi dan direproduksi Orba tersebut menurut Tia telah membuat masyarakat pada dewasa ini yang masih terpengaruh menjadi patuh, tidak berontak dan tidak pernah mempertanyakan artinya menerima begitu saja apa yang dicekokan rezim orba. Tia mencontohkan bagaimana Orba membangun diskursus dan image tentang Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) sebagai para perempuan kejam, tidak manusiawi dan pemberontak.

Narasi tersebut membuat ketika kita berbicara tentang Gerwani, dalam benak masyarakat kemudian terbayang bagaimana sekumpulan perempuan menyanyikan lagu genjer-genjer, melakukan tarian harum bunga dan menyilet-nyilet para jenderal korban peristiwa 1965. Narasi sejarah yang dibangun oleh Orba memang cukup berhasil karena dibentuk secara terstruktur dan masiv selama puluhan tahun, akan tetapi sekarang mulai banyak yang mempertanyakannya.

Acara Belok Kiri Festival adalah salah satu agenda untuk mempertanyakan narasi sejarah versi orba tersebut dan mengajak peserta berfikir “kiri” secara kritis. Tia Pamungkas yang juga hadir untuk mengisi salah satu sesi diskusi dalam acara Belok Kiri Fest tersebut mengatakan bahwa acara tersebut bukannya tanpa kritik, akan tetapi ada proses dialektika disana. Salah satunya kritik terhadap buku Sejarah Gerakan Kiri Untuk Pemula dimana banyak dikritik karena apa yang digambarkan oleh buku tersebut sangat maskulin sedangkan sudut pandang secara feminis belum terwakili.

Memahami sejarah gerakan kiri di Indonesia sekarang memang sudah terbuka dan banyak tersedia referensi buku yang diperjualkan secara bebas dipasaran. Namun ada penghalang atau ancaman untuk memahami narasi sejarah gerakan kiri tersebut yaitu kelompok fundamentalis dan fasis yang selama ini dipelihara oleh aparat Negara. Kelompok paramiliter tersebut seringkali meneror dan bersikap anti-demokrasi dengan membubarkan acara-acara yang mencoba mempertanyakan narasi sejarah orba. Sedangkan pihak aparat keamanan dengan dalih ketertiban mengamini tindakan anti-demokrasi dari kelompok organisasi paramiliter ini. Salah satunya adalah upaya pembubaran acara Belok Kiri Fest ini yang ada berbagai organisasi yang terlibat seperti HMI cabang Jakarta Raya.

Ketika HMI secara terstruktural dilibatkan dalam aksi pemberangusan dan pengebirian hak warga negara untuk berekspresi, berpendapat, dan berdiskusi tersebut, Irfan Muhammad menyangkalnya. Itu karena sikap berlawanan terhadap tindakan dari HMI cabang Jakarta Raya ditunjukan HMI cabang lain seperti oleh HMI cabang Malang dan HMI cabang Fisipol UGM. Menurut Irfan mereka yang melakukan aksi penolakan acara Belok Kiri Fest adalah kader-kader muda yang dianggap kurang banyak membaca dan masih terpengaruh oleh narasi sejarah orba.

Irfan menyatakan bahwa pada era tahun 1950an sampai terjadinya peristiwa 1965, memang ada ketegangan antara HMI dengan CGMI (sayap organisasi mahasiswa dari PKI), apalagi ketika peristiwa upaya pembubaran HMI yang didukung oleh PKI. Namun ketegangan tersebut menurut Irfan sebagai ketegangan politis semata. Artinya bukanlah ketegangan yang bersifat langgeng, akan tetapi konteks politik pada masa tersebut yang membuat ketegangan itu muncul, sedangkan ketika konteks politiknya berbeda maka bisa jadi malah tidak ada ketegangan atau bahkan malah memunculkan koalisi diantara keduanya.

Itu artinya Irfan ingin mengatakan bahwa HMI tidak phobia terhadap komunisme dan gerakan kiri. Malahan Irfan menceritakan pengalamannya ketika bergabung dengan HMI ketika Pelatihan Kader (PK) bahannya salah satunya adalah MDH (Materialisme Dialektika Historis) Marxis. Selain itu dia juga mendapatkan wacana-wacana pembanding terhadap narasi Orba yang selama masa kecil hingga SMA dipercayainya.

Namun memang sebagaimana yang diungkapkan Abdul Wahid pada sesi diskusi MAP Corner-klub MKP UGM pada 24 November 2015:

HMI adalah bagian dari organisasi yang turut membangun pondasi regim Orba dan juga narasi sejarahnya. Seperti dalam proses Genosida Intelektual di kampus terhadap para mahasiswa, dosen atau staff yang memiliki afiliasi politik dengan PKI, peran para mahasiswa anti-komunis (dari organisasi yang bertentangan dengan CGMI seperti HMI) dimanfaatkan untuk menunjuk para mahasiswa yang masuk CGMI, Perhimi, IPPI atau yang berafiliasi dengan PKI. Sedangkan menurut Aspinal (2012:173) banyak mantan aktivis gerakan tarbiyah terutama dari HMI yang menjadi bagian dari Elit Orba. Berdasarkan data dari Majalah Ummat, 200 dari 500 anggota DPR setelah pemilu 1997 memiliki latar belakang gerakan tarbiyah.

Atas relasi yang terbangun sejak lama tersebut membuat HMI (tidak secara struktural dan tidak semua) seringkali menjadi corong sisa-sisa regim Orba untuk mempertahankan hegemoni mereka yang dibangun diatas jutaan mayat rakyat Indonesia dan juga ratusan ribu penderitaan dari mereka yang menjadi tahanan politik dan dicap komunis.
Keadaan dan problematika terkait hal-hal tersebut, menurut Tia harus ada kontestasi narasi sejarah dan pembukaan pengetahuan tentang peristiwa 1965 dan apa itu gerakan kiri secara terbuka dan berimbang, hal tersebut penting untuk menyongsong masa depan Indonesia lebih baik lagi. Salah satunya adalah melalui peran dari kampus. Artinya kampus harus didorong menjadi institusi yang tidak hanya secara diam-diam berbicara tentang pengetahuan yang berkembang sekarang. Akan tetapi universitas harus berani menempatkan diri sebagai ruang kontestasi sejarah demi menciptakan tradisi akademik yang baik.

Acara Belok Kiri Fest adalah salah satu upaya untuk mengkontestasikan narasi sejarah yang selama ini dibawah bayang-bayang doktrin Orba. Baginya mereka yang selama ini meneguhkan romantisme sebagai alat politik orba untuk melanggengkan narasi sejarah versi orba dengan melakukan tindakan pemberangusan dan pengebirian hak warga negara untuk berekspresi, berpendapat, dan berdiskusi harus ditentang dan dilawan. Artinya yang menjadi bahaya laten bukanlah gerakan kiri, akan tetapi narasi sejarah versi orba yang manipulatif tersebut.

Leave a Reply